Sabtu, 22 Februari 2014



Menunggu
Oleh : Raisal Kahfi



Aku kembali terpaku pada panorama yang tak  asing lagi. Sebuah panorama yang selama ini begitu akrab dengan kehidupanku di kampus hijau ini. Di depanku berdiri kokoh sebatang pohon palem yang tegar dalam kesendirian. Pohon itu dikelilingi rumput basah yang bermandi matahari. Perlahan sisa tetesan embun yang hinggap diatasnya sirna seiring dengan pagi yang semakini tua. Di tempat yang penuh kenangan ini aku masih menunggunya dengan setia, bagiku setia tidak pernah sia-sia.
Masih bisa kuhirup aroma pagi walau matahari sudah agak meninggi. Pukul sepuluh, saat yang tepat untuk menunggunya disini, selasar sebuah masjid yang selalu teduhkan jiwaku. Melapangkan pikiranku dari jenuhnya suasana perkualihan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasanku untuk segera kembali ke tempat ini begitu perkualihan usai. Begitu juga dengan teman-temanku yang saat ini di belakangku,  sedang asyik membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta beberapa minggu lagi. Seusai kuliah tempat ini selalu jadi tujuan mereka. Dan kini aku masih asyik sendiri, menikmati matahari dan berbagai aktivitas kehidupan yang saat ini terpajang di depan mataku. Tanpa henti aku memohon pada Tuhan agar pagi ini aku dipertemukan dengannya, makhluk indah yang akhir-akhir ini telah mendobrak semesta hatiku dan membuatku jatuh cinta.
Kutebar pandanganku. Di kananku sebuah masjid berdiri dengan megah walau tak semegah masjid raya yang ada di alun-alun kotaku. Masjid itu bernama Al-Furqon. Tempat ini adalah salah satu tempat yang paling sering kusinggahi. Di beranda masjid kulihat beberapa Mahasiswa sedang membaca Al-Quran. Aku terenyuh melihatnya. Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini aku begitu jarang menyentuh kitab suci. Sungguh, aku benar-benar merasa berdosa.
Tak jauh dari situ kulihat seorang lelaki yang sedang duduk termenung menatap kearah pohon palem, seperti aku. Tetapi setelah kuamati, sesekali lelaki itu tersenyum kecil seakan sedang bercakap-cakap dengan rumput. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Mungkinkah dia sedang terperosok ke dasar lembah cinta sepertiku? Entahlah, yang jelas wajahnya tampak tersenyum.
Tanpa terasa matahari semakin tinggi, hampir tepat di atas kepalaku. Langit yang menyajikan pemandangan biru muda nyaris tak dihinggapi awan. Udara sudah mulai panas. Kulepaskan sweater putih yang kupakai sejak pagi. Ternyata leherku basah karena keringat. Suasana di sekelilingku semakin  ramai saja. Berbondong-bondong para mahasiswa dari berbagai arah menyerbu selasar masjid yang sebelumnya tampak lengang. Teman-temanku tak lagi membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta. Beberapa di antara mereka ada yang pulang ke kost-an dan baru akan kembali pukul satu nanti karena masih ada mata kuliah Kajian Drama. Sedang yang lainnya terlihat sedang tidur-tiduran, mengerjakan tugas, mengobrol, makan, dan bahkan dua orang temanku yang kebetulan berpacaran sedang duduk berdua sekitar tujuh meter dari samping kiriku. Huh, jujur saja aku sedikit iri pada mereka. Sepertinya mereka sangat menikmati  cinta. Tidak seperti aku yang terkadang begitu merana karena cinta. Seperti saat ini aku dibuat merana oleh sebuah penantian  sambil mendengarkan lagu-lagu Melly Goeslow yang ada dalam album “Ada Apa dengan Cinta” dengan menggunakan walkman milik temanku.
Aku tak bisa jelaskan mengapa bisa begini. Aku selalu rindu pada malamku bersamamu….. kuhanya ingin mencintai, aku hanya ingin dicintai. Walaupun banyak yang menentangku, kuhanya ingin bahagia……
Siang semakin garang. Mengucurkan keringat di sekujur tubuhku. Saat ini aku sudah bisa mencium aroma siang. Kurasakan panas pada kulit tanganku yang terjemur langsung dibawah terik matahari. Aku berpindah tempat duduk, mencari tempat yang lebih teduh. Kini aku bersandar di sebuah lemari kayu yang biasa dijadikan tempat penitipan sepatu. Orang-orang lalu lalang di depan wajahku. Tiba-tiba seorang anak menghampiriku dengan membawa sebuah kecrek yang terbuat dari kayu dan tutup botol soft drink yang dipipihkan. Kukecilkan suara walkman untuk mendengarkan bocah yang seumuran dengan adik bungsuku bernyanyi, “libuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintangan demi aku anakmu.”
Hatiku benar-benar tersentuh. Bagaiman bisa seorang bocah yang belum bisa mengucapkan huruf “R” berada di sini mencari makan? Bukankah seharusnya mereka berada di bangku sekolah? Inikah tanda-tanda ketidakadilan dunia? Lalu bagaimana dengan masa depan mereka? Ah, kurasa inilah salah satu penyebab keterbelakangan bangsa kita disbanding bangsa lain. Tapi mau bagaimana lagi? Apa sih yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa miskin seperti aku selain berdoa, berdoa dan berdoa. Mudah-mudahan kelak tak ada lagi anak yang kurang beruntung seperti dia.
Setelah kukeluarkan uang receh secukupnya  anak itu berlalu. Ia berkumpul dengan teman-temannya di dekat menara putih yang menjulang tinggi di depan masjid ini. Mereka terlihat begitu menikmati penatnya siang. Seakan tanpa beban mereka berlarian dibawah jemuran matahari. Sementara itu aku kembali menebar pendanganku. Masih dalam rangka mencari sosoknya yang selama ini kurindukan.
Adzan dzuhur berkumandang, menyerukan panggilan untuk segera menghadap-Nya. Sebagian mahasiswa segera mengambil air wudhu dan sebagian lagi terlihat masih duduk-duduk memenuhi selasar masjid untuk menunggui tas dan sepatu teman-teman mereka yang pergi salat terlebih dahulu.
Dimasjid ini berkali-kali terjadi kasus kehilangan barang, baik itu tas, sepatu, jaket, atau handphone. Oleh karena itulah salat bergantian dianggap sebagai solusi terbaik untuk menghindari kehilangan tas di masjid ini. Betapa kesalnya aku saat itu. Isi tas memang tidak bernilai jual tinggi bagi orang lain, tetapi bagiku sangat berarti. Isinya disket-disket tugas akhir semester yang belum sempat di-print, dan foto-foto kenanganku bersama kekasihku yang pergi menghadap-Nya tiga tahun yang lalu.
Gambar-gambar wajah teduhnya seringkali membuatku merasa bahagia karena pernah di cintai oleh makhluk seindah dirinya. Dan sejak aku bertemu dengan seseorang yang saat ini sedang kutunggu, aku seakan dipertemukan kembali dengan reinkarnasi dirinya. Sungguh, kedua gadis itu terkesan sama bagiku. Tetapi mengapa dia belum datang juga?
Segera kumatikan walkman, setelah menitipkan tas dan sepatu pada temanku yang kebetulan sedang “libur salat”, aku segera mengambil air wudhu dan salat berjamaah. Seusai salat aku berdoa pada Tuhan agar aku bisa dipersatukan dengannya, aku ingin menjadikannya sebagai matahari cintaku. Kemudian aku segera aku kembali keselasar masjid. Aku masih berharap bisa bertemu dengannya siang ini, atau paling tidak aku bisa melihatnya walaupun dari kejauhan. Yang  jelas didasar hati terdalamku aku ingin menyatakan isi hatiku untuknya siang ini juga.
Pukul setengah satu, matahari benar-benar tak selembut tadi pagi. Suasana disekelilingku semakin ramai. Para penjual makanan mulai berdatangan untuk menyajikan hidangan makan siang berupa batagor, sio-may, cuanki, es cendol, cincau, dan berbagai makanan lain dengan harga murah tentunya. Tetapi aku sedikitpun tidak tergerak untuk makan. Entah kenapa. Beberapa temanku mulai beranjak mulai meninggalkan selasar masjid ini dan segera menuju ruang kuliah yang letaknya cukup jauh dari sini. Untuk sampai disana kami harus melewati perpustakaan, Balai Bahasa, dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Apalagi, dibawah terik yang menyengat ini. Mungkin beberapa teman perempuan yang kolokan akan mengeluh sepanjang jalan. Takut kulitnya terbakarlah, takut hitamlah. Menyebalkan..
Aku segera merapikan barang bawaanku, lalu segera kupakai sepatuku. Tetapi aku tidak segera beranjak. Aku masih begitu ingin bertemu dengannya. Sekali lagi kuamati sekelilingku. Masih bisa kurasakan suasana ramai khas tempat ini yang terjadi setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu. Apalagi, hari Senin seperti sekarang ini, biasanya kampusku lebih ramai dibanding hari-hari lainnya.
Dan akhirnya penantianku tidak sia-sia. Tepat di depanku, di dekat gerbang kampus aku melihatnya berjalan menuju tempat parkir motor. Tetapi jantungku seakan berhenti berdegup. Dia tidak sendiri. Seorang lelaki mendampingi langkahnya. Tak lama kemudian mereka berlalu, melaju dengan sebuah sepeda motor. Dia mendekap erat lelakinya, wajah cantiknya melekat pada punggung lelaki itu. Menara putih dan pohon palem runtuh dalam semesta lukaku. Rumput terbakar terik matahari seperti hatiku yang terbakar api yang tak kumengerti. Kering dan layu. Dalam hitungan detik segalanya berubah jadi debu. Tak ada lagi Mawar atau Kanigara. Yang ada hanyalah bangkai berbau amis.
Aku berlalu meninggalkan selasar masjid yang masih dipenuhi manusia. Kutinggalkan sebuah pertanyaan, “mengapa dia tak menjadikan aku sebagai mataharinya?” pertanyaan itu terjawab setelah aku tahu bahwa lelaki itulah matahari pilihannya. Dan aku, masih akan selalu menunggu diselasar masjid ini. Bukan lagi menunggu kedatangannya tetapi menunggu kematian sebuah pijaran jiwa yang kini telah diliputi luka menganga. Aku terluka.


                                                Sumber : majalah cerita kita, November 2006.